Selasa, 30 Desember 2008

Empat Versi Gerakan 30 September 1965

Memang, perihal Gerakan yang mengatasnamakan PKI pada tanggal 30 September 1965 sampai hari ini belumlah terungkap siapa dalang dan apa yang melandasi terjadinya kejadian penculikan Jenderal-Jenderal kenamaan pada saat itu. Namun, para penulis buku dan sejarawan yang melakukan riset atas kejadian itu terbagi menjadi empat golongan dengan versinya sendiri-sendiri dan dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Ke-empat versi itu adalah :

1.Kelompok pertama meyakini, Partai Komunis Indonesia ada di belakang G30S. Selama 30 tahun lebih, pemerintahan Soeharto menyosialisasikan pendapat ini kepada bangsa Indonesia, termasuk melalui film G30S/PKI yang ditayangkan di televisi tiap menjelang peringatan G30S
2.Kelompok kedua meyakini, G30S adalah karya ulung Soeharto dengan bantuan sejumlah negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris. Orang-orang PKI setelah mengecap kebebasan penuh pasca-Orde Baru dan korban Soeharto lainnya paling keras menyuarakan pendapat ini. Di kalangan Barat, tidak sedikit yang berpendapat sama, antara lain Willem Oltman (almarhum), wartawan Belanda yang gigih menghantam rezim Soeharto serta Prof Scott dari Amerika.
3.Kelompok ketiga meyakini, Presiden Soekarno adalah dalangnya. Paling tidak, sejak awal Soekarno tahu tetapi membiarkannya karena sikapnya yang tidak suka terhadap jenderal-jenderal kanan pimpinan AH Nasution. Banyak perwira tinggi TNI mempercayai pandangan ini.
4.Kelompok keempat berpendapat, G30S sepenuhnya masalah internal Angkatan Darat (AD), yaitu perpecahan antara para Jenderal kanan yang borjuis dan para perwira revolusioner seperti Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Latief, dan Letkol Untung. PKI hanya korban. Soekarno menganut faham ini.

Mana yang benar, masih memerlukan penelitian dan pengkajian yang mungkin memerlukan waktu yang relatif lama. Hal ini dikarenakan banyak saksi sejarah pada peristiwa itu telah meninggal dunia. Terjadinya banyak perbedaan pendapat mengenai dalang dan motivasi gerakan tersebut terjadi karena beberapa hal (menurut saya) yaitu :
1.Penelitian hanya dilakukan tanpa adanya analisis yang kritis.
2.Masih adanya motivasi dendam. Sehingga penelitian berjalan tidak subyektif.

Minggu, 28 Desember 2008

BHP : Upaya Pembungkaman Mahasiswa

Hampir di setiap kota-kota besar, di depan kantor DPRD maupun di depan gedung-gedung rektorat universitas akhir-akhir ini selalu dihiasi oleh demonstrasi dari para mahasiswa. Demostrasi tersebut dilakukan sebagai upaya penolakan atas Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan ( UU BHP) yang telah ditetapkan pemerintah sejak 19 Desember lalu.
Pemerintah melalui Mr. Bambang Sudibyo mengatakan bahwa UU BHP tersebut di buat untuk memudahkan rakyat miskin agar bisa menikmati perguruan tinggi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pemerintah memberikan bantuan 20% beasiswa pada rakyat miskin agar bisa masuk kuliah. Memangnya, penduduk miskin kita yang hendak berkuliah hanya sebesar 20% dari berjuta-berjuta rakyat?? Ia kembali menegaskan bahwa semua infrastruktur kampus di tanggung oleh pemerintah. Bukankah ini berarti bahwa pemerintah hanya mengurusi bangunan kampus saja dan tidak peduli bila biaya kuliah menjadi mahal karena pemerintah tidak lagi memberi subsidi pada kampus-kampus negeri maupun swasta yang banyak ini. Berita terbaru yang saya terima, kemungkinan 40% perguruan tinggi akan pailit karena adanya UU BHP.
Sebagai catatan, menurt Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2007 silam, sebanyak 33,9 juta anak Indonesia dilanggar hak pendidikannya, 11 juta anak usia 7-8 tahun buta huruf dan sama sekali belum pernah mengecap bangku sekolah dan sisasnya putus sekolah di tengah jalan. Bila dilihat lebih detail, ada 4.370.492 anak putus sekolah dasar dan 18.296.332 anak putus sekolah tingkat pertama. Adapun 11 juta sisanya ( lebih dari 30%) anak buta huruf karena tidak pernah bersekolah. Bahkan, hanya 70,85% masyarakat miskin di Indonesia yang bisa mendapatkan akses pendidikan sampai pada jenjang pendidikan menengah saja, sementara kelompok kaya mencapai 94,58%. (Data diambil dari tulisan Emile A. Laggut, edisi Kompas, Jumat 26 Desember 2008). Lalu, kenapa pemerintah hanya memberikan bantuan sebesar 20% saja??? Kenapa pak Dibyo???
UU tersebut juga akan berdampak lain kepada mahasiswa yang kini bukan hanya berstatus sebagai pelajar saja, melainkan juga mempunyai status menjadi penggerak revolusioner bagi bangsa ini. Saya menilai, UU yang akan membuat biaya kuliah menjadi sangat mahal tersebut akan mengakibatkan mahasiswa terkonsentrasi penuh pada kuliah dan tidak lagi akan ikut mencampuri urusan pemerintah yang sampai saat ini masih belum pro terhadap rakyat. Bagaimana tidak, mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab terhadap orang tua mereka sebagai orang yang membiayai segala kebutuhan pada waktu kuliah. Teorinya, daripada semakin membebankan orang tua, maka haruslah cepat lulus dari sebuah universitas. Untuk lulus dengan cepat, diperlukan kerja keras dan belajar terus menerus. Hal ini akan mengakibatkan mahasiswa akan terkonsentrasi penuh terhadap kuliah, dan lama kelamaan tidak akan ikut campur dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini juga diterapkan di Negara tetangga, Malaysia.
Ada beberapa alasan mengapa saya mengatakan hal tersebut. Pertama, dalam beberapa dekade terakhir, keputusan-keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat selalu mendapat perlawanan dari mahasiswa melalui Lembaga pers mahasiswa, tulisan di pers umum maupun secara demonstrasi. Seperti yang terjadi pada tahun 1966 dan tahun 1998 ketika para mahasiswa berhasil meruntuhkan rezim yang berlaku pada masa itu.
Kedua, mahasiswa adalah kaum intelektual yang paling dekat dengan rakyat pada saat ini, karena pada dasarnya mereka adalah bagian dari rakyat itu sendiri. Mereka merasakan betul kondisi rakyat dibanding para wakil-wakil rakyat di parlemen maupun presiden yang terlihat sok tahu akan keadaan dan kemauan rakyat.
Ketiga, mahasiswa adalah orang-orang yang berfikiran kritis dan mempunyai ide-ide pembaharuan yang dapat mengubah konsep dan sistem pemerintahan.
Dengan pertimbangan itulah, pemerintah berniat membungkam pikiran dan hati mahasiswa melalui UU BHP agar mahasiswa tidak lagi mencampuri urusan politik dalam negeri dan lebih terkonsntrasi pada kuliah. Karena bila tidak dibungkam, yang ditakutkan adalah ketika tiba waktunya mahasiswa-mahasiswa tersebut akan kembali bersatu dan akan kembali meruntuhkan sebuah rezim dengan konsep dan sistem yang telah disusun sedemikian rupa yang katanya untuk kepentingan rakyat.
Entah dinilai provokasi atau tidak, tapi inilah yang akan terjadi bila UU BHP yang telah di sahkan tersebut dijalankan birokrat kampus. Sudah saatnya kita bersama-sama mematuhi amanat dari pejuang-pejuang pendidikan yang dijadikan pedoman dalam pembuatan UU No.20 Tahun 2003 yang mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional yang demokratis, berkeadilan, manusiawi, tidak diskriminatif, serta menjunjung tinggi HAM dan nilai-nilai kultural.

Kamis, 25 Desember 2008

BHP Dan Pendidikan

Beberapa waktu yang lalu, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah di sahkan oleh tuan-tuan "wakil rakyat" yang katanya pro rakyat dan terhormat. UU BHP tersebut memuat tentang metode pendidikan yang baru, yaitu rakyat juga ikut menangung biaya pendidikan. Selain itu UU ini menyebutkan bahwa 20 persen operasional dibiayai pemerintah. Untuk investasi dan bangunan seluruhnya dibiayai pemerintah.
UU BHP juga menetapkan perguruan tinggi negeri atau PTS wajib memberikan beasiswa sebesar 20 persen dari seluruh jumlah mahasiswa di lembaganya.PTN yang katanya mahal, nantinya hanya boleh mengambil dana masyarakat sebesar 1/3 dari biaya operasional. Ada sanksi bagi yang melanggarnya.
Namun, niat pemerintah yang katanya untuk memudahkan masyarakat miskin untuk berkuliah ini mendapatkan banyak perlawanan dari mahasiswa. Semenjak rancangan itu dibuat, beberapa demonstrasi mewarnai di setiap kampus hingga saat ini setelah RUU tersebut telah di sahkan, demonstrasi pun tak kunjung mereda. Pertanyaanya, kenapa para wakil rakyat dan mahasiswa-mahasiswa tersebut tidak satu pikiran?? Dan kenapa para anggota DPR mensahkan RUU tersebut?
Menurut sudut pandang saya sebagai mahasiswa dan juga sebagai rakyat, UU BHP akan membuat orang-orang miskin kesulitan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Memang, sudah disebutkan bahwa akan ada beasiswa dan kemudahan untuk masuk kuliah sebesar 20% rakyat miskin. Namun, apakah pemerintah sudah yakin bahwa orang miskin di Indonesia hanya 20% dari keseluruhan penduduk?? Pernahkah anggota-anggota dewan tersebut turun langsung ke lapangan, dan melihat realita sebenarnya di lapangan??? Realita yang saya tahu (maaf bila pandangan saya berbeda dengan teman-teman semua) banyak teman-teman saya di kampus yang putus kuliah karena kesulitan biaya. Kalau BHP sudah mulai di terapkan, bagaimana kelanjutanya saya tidak bisa membayangkan.
Kedua, dalam UUD disebutkan bahwa pendidikan di tanggung oleh pemerintah. Bila pemerintah hanya menanggung biaya pembangunan untuk universitas, lalu apa yang akan diterima oleh calon mahasiswa selain akan mahalnya biaya kuliah?? Yang mampunyai uang banyak, tentu hal ini bukan masalah.
Ketiga, apakah mungkin ada niatan untuk membuat mahasiswa-mahasiswa Indonesia menjadi sama dengan para mahasiswa di malaysia yang tidak boleh berpolitik dan harus 100% konsen ke kuliah??? Dengan adanya BHP dan biaya kuliah menjadi naik karena kampus tidak mendapat subsidi lagi kecuali 20% oprasional untuk bangunan dan investasi, maka mereka (pemerintah) membuat paradigma bahwa mahasiswa yang mendapatkan pendidikan dengan mahal tidak boleh menyianyiakan waktu dengan hal lain kecuali belajar. Hal ini dapat terjadi karena keputusan-keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat selalu di tentang oleh mahasiswa.
Seperti kata Taufik Ismail, " Mahasiswa takut dengan dosen. Dosen takut dengan rektor. Rektor takut pada menteri. Menteri takut pada Presiden, da Presiden takut pada MAHASISWA!!

Jumat, 12 Desember 2008

Realita Generasi Baru

Antara hidup dan mati. Mungkin itulah pernyataan yang banyak di lontarkan oleh wanita-wanita yang kini telah menjadi ibu di seluruh dunia. Tidaklah gampang berjuang di tengah lembah kematian untuk melahirkan kita di dunia ini. Tapi percayalah, rasa sakit yang dirasakan akan hilang begitu saja ketika ibu mendengar jerit tangis pertama kita di dunia ini. Hidup atau mati tak dipedulikan lagi asalkan bisa melahirkan bayi yang sembilan bulan sepuluh hari tepatnya berada di rahimnya.
Kita, yang dilahirkan, sudahl tentu diharapkan menjadi anak yang berbakti pada orang tua, berprestasi di bidang akademik, menjaga nama baik keluarga, dan menjadi orang yang berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Sebuah harapan yang selalu mengalir dari setiap doa yang dipanjatkan kepada-Nya.
Harapan-harapan itu juga ditanamkan kedua orang tua saya. Tak ada hentinya mereka memberi nasihat yang bermanfaat bagi saya agar bisa menempuh study dengan lancar penuh kebanggaan. Tapi, realita hidup yang saya jalani bertolak belakang dari teori-teori yang acapkali saya baca di buku dan yang di nasehatkan oleh mereka. Sebuah realita dimana saya berada dalam kebimbangan besar dalam menempuh study. Nilai-nilai saya banyak yang kurang memuaskan. Padahal, saya belajar.
Suatu hari saya berfikir, apakah yang harus dilakukan agar nilai saya naik. Apakah yang harus saya lakukan agar tugas-tugas perkuliahan saya juga mendapatkan nilai yang baik. Perlukah saya mencotek teman-teman yang lain saat ujian, perlukah saya mengerpe saat ujian, atau perlukah saya selalu copy-paste dalam mengerjakan tugas-tugas saya? Sama seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya yang selalu mendapatkan nilai bagus bila menjalankan langkah-langkah itu.
Namun, saya menilai cara-cara tersebut malah akan membuat malu orang tua saya. Memang, saya yakin study akademik saya akan membaik (saya pernah melakukanya,dari nyontek hingga ngerpe) dalam segi nilai. Tapi dalam sebuah proses, saya bisa dikatakan gagal. Memang (lagi) saya akan mendapatkan pujian dari orang tua ataupun teman-teman terdekat saya, namun hal itu akan membuat saya mengingkari harapan dan tanggung jawab yang saya pikul.
Saya kembali teringat sebuah harapan dari mereka, bahwa saya harus bisa berguna bagi bangsa dan negara ini. Dengan kondisi bangsa Indonesia yang tak karuan seperti sekarang, orientasi saya hanya membahagiakan orang tua. Tapi pertanyaanya, apakah mereka akan bahagia bila saya mendapatkan pekerjaan yang bukan hasil study saya di sebuah fakultas? Apakah mereka akan bahagia bila tujuan hidup saya hanya mencari uang untuk mereka dengan mengorbankan idealisme saya selama 10 tahun terakhir? Saya yakin jawabanya tidak. Karena orang tua manapun akan sangat tidak bahagia bila anak-anak mereka melacurkan iedeologi hanya untuk sebuah sistem kapitalis walaupun di tengah krisis seperti ini.
Lantas apa yang saya bisa berikan untuk negara bila saya hanya duduk di depan televisi dan menunggu sinetron kesukaan saya. Acuh terhadap berita. Apa yang bisa saya dan kita berikan untuk masyarakat bila hanya bisa berdiam diri di rumah, berpesta dan acuh terhadap keadaan sekitar. Apa yang bisa kita berikan pada negara bila kita terus sibuk memperdebatkan kebudayaan barat tanpa mempedulikan budaya kita sendiri. Apa yang bisa kita berikan bila hanya sikut-sikutan memperebutkan kekuasaan di pemerintahan, maupun lembaga-lembaga masyarakat. Apa yang bisa kita berikan untuk otak kita bila hanya duduk dua jam didepan komputer hanya untuk mengutak-utik friendster, atau situs-situs kontak jodoh lainya.( saya juga punya friendster, di b3nteng_bass_dezta@yahoo.co.id) tanpa diselingi membuka situs-situs bermanfaat seperti google.com, wallstreetjournal.com, kompas,com dan lain sebagainya.
Apa yang bisa kita berikan untuk mereka bila hanya merenungi nasib karena ditinggal seorang kekasih. Sebuah generasi penerus dari gen orang tua kita haruslah lebih baik dari pemberi gen tersebut. Kira-kira begitulah yang dikatakan Fidel Castro sebelum iapensiun menjadi presiden Cuba.
Tapi hidup ini pilihan. Sebuah pilihan harus di ambil secara tegas untuk memenuhi tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Minggu, 07 Desember 2008

DAYA MAGIS PEMILU BAGI ELITE POLITIK

DAYA MAGIS PEMILU BAGI ELITE POLITIK

Tinggal empat bulan lagi Indonesia akan mengadakan pemilihan umum. Banyak yang mengatakan bahwa pemilu adalah pesta demokrasi di Negara yang tengah mengalami kemunduran secara mental ini. Sebuah pesta yang tidak menghabiskan dana sedikit, sebuah pesta lima tahunan sebagai wahana merebut tampuk kekuasaan, sebuah pesta dari rakyat (uangnya) dan untuk rakyat (penderitaanya).
Biarlah saya meniai pemilu itu dari satu sisi saja, seperti pernyataan-pernyataan saya yang saya ungkapkan di atas. Yang pasti tulisan ini saya buat dan saya bangun bukan untuk meracuni pikiran teman-teman semua, melainkan hanya untuk menumbuhkan pikiran peka dan kritis namun bertanggung jawab (semoga).
Para elite politik memegang peranan besar dalam kinerja sebuah partai yang di pimpinnya atau yang ”di bimbingnya”. Peranan tersebut di aplikasikan dalam bentuk materi dan non materi. Materi seperti uang untuk keperluan kampanye, iklan di media cetak maupun elektronik, dan untuk membeli suara ( semoga tidak terjadi lagi ). Adapun non materi, para elite mencoba untuk membuat pencitraan partai ataupun dirinya sendiri terlihat baik, berkompeten, dan berkapabilitas sehingga rakyat akan menjadi bagian dari mereka.
Contohnya saja menjelang pemilu yang di laksanakan pada bulan April 2009 nanti, banyak para elite politik dari sekarang yang tengah berusaha membangun citra dirinya dan partainya melalui media ataupun lewat keputusan-keputusan yang ( katanya ) bersifat pro rakyat. Misal, beberapa waktu lalu pemerintah (elite politik) menurunkan harga minyak sebesar Rp 500. Rakyat menjadi gembira mendengar hal ini, tapi kenyataanya keputusan itu malah mempersulit rakyat untuk mendapatkan premium di stasiun-stasiun pengisian. Hal ini di akibatkan oleh beberapa hal, yaitu :
1.Jeda antara waktu permintaan pasokan dan pengiriman mengakibatkan kelangkaan di beberapa tempat.
2.Pengusaha-pengusaha SPBU menunda pengambilan premium menjelang penurunan harga.
3.Tidak adanya komunikasi yang jelas antara pengusaha SPBU dengan pemerintah.

Terlepas dari itu, banyak yang mengatakan bahwa keputusan pemerintah sangat tepat dan bijaksana untuk menurunkan harga premium. Pertanyaanya, kenapa baru sekarang diturunkan?? Padahal harga minyak dunia sudah turun sejak dua bulan yang lalu. Malaysia saja sudah menurunkan harga minyak sebanyak lima kali. Saya menilai, ada muatan politis yang besar di sini. Pemilu tinggal beberapa bulan ke depan, untuk menanamkan imej bagi rakyat bahwa pemerintah pada saat ini pro rakyat, maka keputusan penurunan harga BBM baru sekarang terlaksana. Selain itu, popularitas SBY yang cenderung menurun dibandingkan calon-calon Presiden yamh independence seperti Fachroel ataupun Sultan Hamengkubuwono X menjadi pertimbangan tersendiri. Tapi, semoga perkiraan saya itu salah!
Contoh yang kedua, adalah soal pendidikan. Baru kemarin saya melihat berita di televisi bahwa pada tahun 2009 pemerintah menetapkan pendidikan gratis di tingkat SD dan SMP. Bagi anda yang ingat, SBY pada kampanyenya tahun 2004 yang lalu pernah mengatakan bahwa bila ia terpilih menjadi presiden, maka pendidikan akan gratis. Pertanyaanya (lagi), kenapa baru sekarang terealisasikan dan kenapa pada tahun 2009? Apakah mungkin analoginya seperti ini. Tahun 2009 kita melaksanakan pemilu, sedangkan pada tahun 2009 pendidikan kita gratis. Secara halus, keputusan itu ingin meyakinkan rakyat bahwa pilih saja SBY dan kawan-kawan menjalankan pemerintahan lagi, supaya gratis. Dan tidak ada jaminan apakah bila memilih orang lain, keputusan itu akan berlanjut atau tidak. Seperti yang kita ketahui bersama, ganti pemerintahan, ganti keputusan.
Lain lagi dengan elite-elite politik yang belum duduk di pemerintahan. Partai-partai besar, sedang, maupun kecil yang di bimbimg dan di pimpinnya semakin dekat ke pemilu semakin gencar pula memberikan sembako, pelatihan, atau memberikan hal-hal yang bisa membuat rakyat gembira, dengan tujuan agar rakyat memilih partai mereka dalam pemilu nanti. Alasanya sih sederhana, mereka bilang ” rakyat sudah sering menderita, kalau tidak kita siapa lagi yang peduli”, ucap mereka.
Tapi, kenapa harus menjelang pemilu??? Kenapa tidak sedari dulu kalau ingin membantu rakyat?? Aneh bukan..
Tidak bisa di pungkiri, pemilu menjadi daya magis yang sangat besar untuk siapa pun yang punya uang untuk dapat duduk di pemerintahan. Rakyat pun hanya menjadi korban langkah-langkah mereka dalam menuju kekuasaan. Tapi sekali lagi saya tegaskan, RAKYAT TIDAK BODOH!!! Rakyat tahu apa yang baik bagi mereka sendiri, mungkin hal ini yang mengakibatkan banyak golput dimana-mana.